Hukuman Fisik untuk Anak?

Hukuman Fisik untuk Anak?

Kalau diperhatikan, ada satu fenomena menarik dalam dunia pendidikan dan pengasuhan anak pada masyarakat kita sekarang ini, di mana kalau zaman dahulu mendidik anak seringkali diwarnai dengan hukuman fisik terhadap seorang anak( terutama laki-laki), sedangkan mendidik anak disertai dengan hukuman fisik tampaknya menjadi sebuah tabu bagi para orangtua zaman sekarang. Perkembangan teknologi yang pesat memperlengkapi para orangtua zaman sekarang untuk mengasuh dan mendidik anaknya bukan hanya berdasarkan pengalaman pribadi maupun orang lain (“Waktu kecil dulu, saya juga dididik seperti ini oleh orangtua saya, jadi tidak apa-apa sekarang saya mendidik anak dengan cara yang sama.”) melainkan juga melalui pembelajaran dari banyak sumber, seperti buku-buku atau artikel psikologi, seminar-seminar pendidikan dan keluarga, dan lain-lain. Orangtua mulai belajar bahwa hukuman fisik mempunyai dampak yang kurang baik bagi perkembangan anak. Ini tentunya merupakan sebuah perkembangan yang baik sekali. Bahkan sebuah undang-undang mengenai penganiayaan anak pun sudah dibentuk, yang membuat orangtua lebih berhati-hati dalam menggunakan hukuman fisik dalam mendidik anaknya.

Tapi, apakah betul hukuman fisik itu sama sekali tidak boleh dilakukan? Apakah tidak ada situasi-situasi tertentu di mana orangtua perlu mengambil tindakan ini dalam mendidik anaknya? Apakah tanpa hukuman fisik anak-anak bisa berkembang menjadi anak-anak yang bermental lemah, manja, dan tidak menghormati orang lain terutama yang lebih tua? Tidak jarang, teori yang telah kita pelajari tampak berbenturan dengan kenyataan. Apabila anda sudah terjun langsung dalam mengasuh dan mendidik anak, pastilah pertanyaan-pertanyaan ini pernah terlintas dalam benak anda.

Bagaimanapun juga, prinsip mengasuh anak yang terutama adalah adanya afeksi (kasih sayang) dan disiplin (kontrol dan mengenalkan aturan terhadap anak). Bisa dibayangkan, anak yang dibesarkan dengan kasih sayang berlebihan tanpa disertai dengan pendisiplinan akan bertumbuh menjadi anak yang manja, rapuh, agresif, atau tidak bisa mengikuti aturan. Sedangkan anak yang dibesarkan dengan disiplin yang berlebihan akan bertumbuh menjadi anak yang kaku, kurang percaya diri, sulit mengambil keputusan, tidak bahagia, atau pemberontak. Apabila anak dibesarkan tanpa keduanya, di mana kedua orangtua tidak terlibat dalam  pengasuhan, maka anak akan berkembang menjadi anak yang memiliki keterampilan sosial yang rendah, kemandirian yang kurang baik, dan kurang termotivasi untuk berprestasi. Maka dari itu, penting bagi orangtua untuk menyertakan kedua prinsip ini dalam pengasuhannya, yaitu orangtua yang bersikap responsif pada kebutuhan anak, namun tidak ragu untuk mengendalikan mereka.

Baca :  4 Anugerah Manusia dalam Teori Behavioristik

Kalau begitu, apakah ini berarti orangtua boleh menggunakan hukuman fisik kepada anaknya? Perlu diingat bahwa apapun tindakan disiplin yang kita lakukan pada dasarnya diberikan karena kita menyayangi anak kita. Tujuannya adalah untuk mendisiplin, bukan karena rasa marah terhadap anak kita. Jadi, jangan sampai kita menghukum anak hanya karena ketidakmampuan kita untuk mengontrol emosi. Ketika kita dikuasai oleh kemarahan, maka tindakan-tindakan yang kita lakukan akhirnya kurang rasional dan hanya akan menimbulkan penyesalan.

Perlu pula dipertimbangkan dampak negatif yang bisa timbul dari diberikannya hukuman atau disiplin fisik pada anak. Hukuman atau disiplin yang bersifat fisik tentunya bisa berpengaruh pada kesehatan fisik maupun emosional anak. Jangan sampai karena kita memberikan hukuman fisik yang terlalu keras pada anak, perkembangan fisik dan emosinya jadi terhambat. Anak-anak yang dibesarkan dengan hukuman fisik yang berlebihan mungkin saja tumbuh menjadi anak yang disiplin dan menghormati orangtua namun kurang bahagia dan sulit membina hubungan yang dekat dengan orangtuanya dan orang lain. Oleh karena itu, kita perlu hati-hati mengenai hukuman fisik yang kita berikan pada anak.

Hukuman fisik juga diketahui dapat memberikan contoh perilaku agresi bagi anak. Anak-anak, bagaimana pun, lebih cepat belajar melalui teladan daripada nasehat orang tua. Kita tidak bisa berharap anak kita bisa menjadi anak yang sopan ketika berbicara, bila sehari-hari kita juga berbicara dengan kata-kata yang kasar. Demikian pula, kita tidak bisa berharap anak kita tidak menjadi pribadi yang keras, apabila sehari-hari kita menunjukkan kekerasan pada mereka.

Selain itu, hukuman fisik bila semakin sering dilakukan, akan menjadi semakin tidak efektif. Bila anak sudah terbiasa dipukul untuk suatu tindakan, maka kali berikutnya akan sulit bagi anak untuk menurut selama ia belum dihukum secara fisik. Hal ini kemungkinan dikarenakan ia sudah pernah mengalami hukuman yang lebih menyakitkan sehingga ia tidak lagi “takut” ketika ia didisiplin dengan lebih ringan. Ia akan berhenti melakukan tindakan yang buruk bila akan dihukum secara fisik saja.

Baca :  Latar Belakang Kekerasan pada Anak

Oleh karena hal-hal di atas, bisa disimpulkan bahwa hukuman fisik boleh saja diberikan pada kondisi tertentu, tapi hanya sebagai opsi terakhir, apabila metode lain yang lebih tidak destruktif telah dicoba namun perilaku maladaptif masih bertahan. Sebenarnya banyak opsi pendisiplinan lain yang lebih efektif dan lebih menyejahterakan anak. Selain itu, hukuman fisik bisa saja diberikan apabila tingkat keburukan perilaku yang dilakukan benar-benar sudah berada pada tahap yang gawat dan membutuhkan penanganan segera, seperti membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Memang kelebihan hukuman fisik adalah mampu memberikan hasil yang segera. Namun perlu diingat bahwa hukuman fisik yang diberikan pun hendaknya jangan sampai mempengaruhi kesehatan anak bahkan menimbulkan trauma, dan diberikan tidak terlalu sering sehingga bisa lebih efektif.

Yang tidak kalah penting adalah diperlukan konsistensi dan kesepakatan kedua orangtua dalam memberikan hukuman. Misalnya, orangtua berdiskusi dan sepakat hukuman fisik diberikan untuk kesalahan apa dan bagaimana bentuknya. Jangan sampai ayah seolah-olah menjadi pihak yang menghukum dan ibu jadi malaikat yang menolong anak, atau sebaliknya. Pemberiannya pun konsisten setiap perilaku tersebut muncul. Pendisiplinan manapun, bila diberikan tidak dengan konsisten, akan menjadi sia-sia. Jangan lupa dalam memberikan pendisiplinan apapun, penting bagi orangtua untuk menjelaskan mengapa orangtua melakukan pendisiplinan tersebut sehingga anak tidak menjadi bingung dan bisa memperbaiki diri.

Jadi, memang hukuman fisik bisa diberikan, namun dalam batas-batas yang jelas dan dengan penuh kesadaran akan dampaknya dan kesadaran bahwa hal ini dilakukan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan. Janganlah kita lupa bahwa sebagai orangtua kita tidak perlu bersikap galak, tapi sangat perlu bersikap tegas.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *